Menulislah Untuk Keabadian (Pram)

esse es percipi

Foto saya
Padang, Sumatera Barat, Indonesia
not a girl,not a woman yet....

Sabtu, 08 November 2008

Film Indonesia, Remaja Yang Mana?

Suka nonton TV? Suka liat sinetron / film yang dikategorikan film remaja? Masihkan bisa kita definisikan remaja itu yang mana? Film atau sinetron remaja yang most of bertemakan cinta?
Awalnya remaja yang dimaksud adalah mereka yang menggunakan seragam putih abu-abu. Mereka yang duduk dibangku SMA yang berusia sekitar 14 - 18 tahun. Mereka yang memerankan berbagai adegan yang mencerminkan kehidupan remaja. Sekolah ala remaja, hubungan sosial dalam kehidupan remaja, dll yang identik dengan remaja.
Beranjak sedikit waktu, mereka yang berseragam putih biru tak mau kalah memerankan kisah-kisah yang kerap dihadapi remaja. Mereka yang berusia sekitar 10 -14 tahun dan duduk dibangku SLTP. Oke, mereka akan menuju kehidupan remaja. Katakanlah mereka pra remaja.
Surprise!!Merah putih unjuk gigi. Mereka yang berseragam kan lambang bendera negara kita ini tak mau kalah memerankan adegan yang seharusnya mencerminkan kehidupan remaja.
Atau mereka kah yang disebut remaja saat ini? lalu dua genre seragam diatas mereka disebut apa?
Apakah ini salah satu tanda-tanda evolusi makhluk hidup atau revolusi jati diri remaja?

Peran LSF

Dalam Singgalang edisi Minggu, 29 Juli 2007, dijelaskan lebih kurang sbb:
Lembaga Sensor Film (LSF) adalah garda budaya bangsa dengan visi terwujudnya masyarakat Indonesia yang memilki daya saring info untuk pertahanan tata nilai dan budaya bangsa. Sedangakan misi LSF adalah melindungi masyarakat dari dampak negatif yang mungkin ditimbulkan oleh peredaran film....dst.
Selanjutnya disebutkan pula bahwa penyensoran film menyangkut beberapa segi diantaranya agama, ideologi, politik, sosial budaya, dan ketertiban umum.
Berarti jelas bahwa, tidak hanya adegan, LSF sebagai lembaga swasensor, tidak berhakkah memberi sensor terhadap individu yang akan membintangi film atau sinetron? Tentu saja berhak.
Namun pernyataan lain mengatakan bahwa LSF merasa dirinya tidak berdaya dan tidak memilki wewenang untuk menindak kecuali hanya memberi himbauan dan mengingatkan bagi yang melanggar. Tak cukup melanggarkah ini?
Penulis harap LSF tidak terus-terusan menyerahkan hal ini kepada aparat hukum dan Undang-undanag. Dalam keadaan sekarang,sudah terlalu banyak tugas aparat hukum. Akankah ditambah hanya dengan menyensor film yang layak tayang?
Penulis harap LSF berani tegas terhadap fungsinya sebagai Lembaga Sensor dan berhenti menganggap dirinya tidak berwenang atau melempar tanggung jawab nya kepada aparat yang dianggap berwenang jika tak ingin mereka yang belum menggunakan serafgan sekalipun ( balita) ikut-ikutan membintangi film atau sinetron yang seharusnya mereka mainkan 6 atau 7 lagi. Semoga!
Jatuh hati kembali
pada
malam yang membuka sebuah hari
untuk seseorang
yang mau merenungi
yang terjadi pada bumi hari ini
Pada
pagi yang mengubur semua
yang seharusnya masi lekang di ingatan
Tak ada kah yang sempurna?
apakah takdir masih menjadi sebuah aturan??
--------------------------------------------------------------------------------------------
Lonceng singgasana jiwa
yang biasa tertutup rapat
rapat?
tak sepenuhnya!
kini terdera
bersumpah aku tlah
meredamnya untuk tidak menggelegar
mengacaukan logika
dinding otak yang baru saja berfikir
berfikir!
hanya itukah kelebihan keturunan seorang adam??
berfikir maka lonceng itu akan tetap aman
ditempat
nya seharusnya berada

Pasca Pengumuman SPMB

Tidak lulus SPMB bukanlah akhir dunia, karena lulus SPMB sekalipun bisa jadi adalah neraka

Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru (SPMB) digelar 4-5 Juli 2007, sebagai salah satu pintu penerimaan mahasiswa baru untuk Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Mulai dari tanggal 3 Agustus 2007 hasil SPMB telah dapat diakses baik di Internet maupun di media massa .
Selamat bagi mereka ynag lulus SPMB. Berhasil menduduki salah satu bangku PTN melalui SPMB adalah sebuah prestasi tersendiri, Bagaimana tidak? Satu orang yang berhasil menyingkirkan puluhan peserta lain untuk jurasan yang sama-sama mereka pilih, bukanlah pekerjaan mudah.
Beberapa hal yang kerap dikaitkan dengan lulus SPMB adalah usaha, strategi dan keberuntungan. Jumlah soal SPMB yang terdiri dari masing-masing 25 soal untuk Kemampuan Dasar (KD) yang terdiri dari soal Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris dan Matematika. Sistem penilaian plus 4 untuk soal dengan jawaban benar dan minus satu untuk jawaban salah, juga sangat mempengaruhi. Strategi menjawab banyak soal benar pada KD akan sangat membantu jika nantinya peserta kurang mampu menjawab soal kemampuan IPA/IPS.
Rajin membahas soal adalah kuncinya. Mereka yang menyadari hal ini akan rajin membahas soal baik prediksi maupun soal-soal tahun sebelumnya. Disinilah factor usaha sangat berperan bagi mereka yang lulus SPMB benar-benar karena usaha mereka. Mereka yang menjawab cukup banyak benar pada soal KD dan beberapa soal untuk kemampuan IPA/IPS. Selain itu strategi untuk sekian passing grade ( point yang harus dipenuhi ) harus menjawab benar sekian soal KD dan sekian soal kemampuan IPA/IPS juga mereka pertimbangkan.
Keberuntungan akan terjadi pada mereka tidak terlalu memikirkan strategi , menjawab semua soal yang mereka anggap benar temasuk soal ragu, dan hanya meninggalkan soal yang mereka benar-benar tidak tahu karena belum pernah menemukan materi tersebut sebelumnya. Tidak terpikirkan resiko minus 1 untuk soal yang mereka jawab salah, akan sangat mempengaruhi plus 4 untuk jawaban mereka yang benar.. Jumlah peminat kursi yang mereka perebutkan pun menjadi factor pendukung keberuntungan. Memilih jurusan dengan peminat sedikit pada PTN yang tidak cukup favorit, alhasil inilah mereka yang ‘ beruntung’ lulus SPMB.
Sedangkan beberapa hal dibalik tidak lulus SPMB adalah not well prepare ( kurang persiapan), kurang strategi, kesalahan teknis dan mental.
Kurang membahas soal-soal tahun sebelumnya adalah factor yang sangat mempengaruhi tidak lulusnya peserta SPMB. Karena soal yang dimunculkan pada SPMB setiap tahunnya, sebagian besar adalah pengulangan soal yang pernah keluar pada SPMB sebelumnya, termasuk Sipenmaru dan UMPTN.
Kurang atensi diri termasuk kurangnya strategi adalah faktor kedua. Kurang mengukur kemampuan , minat dan bakat diri sendiri juga mempengaruhi untuk tidak lolos seleksi. Untuk kemampuan seorang sastrawan memaksakan diri memasuki Fakultas Kedokteran adalah kesalahan fatal.
Kesalahan teknis, tidak terbacanya lembar jawaban ABO, kesalahan pengisian kode, dll tidak jarang juga menjadi alasan tidak lolosnya peserta SPMB. Mental yang tidak siap untuk mengahadapi ‘dua hari yang menentukan’, juga menjadi factor kegagalan. Datang terlambat saat ujian, mengetahui bahwa ia meinta jawaban pada peserta yang berbeda kode, ditegur pengawas,dll dapat mengganggu kesiapan mental dalam menjawab soal dengan baik.
Selain itu rating soal SPMB yang berbeda dari soal UN/ UAS dan tidak jarang keluar dari kurikulum yang ditetapkan, menambah deretan factor gagalnya peserta SPMB menembus PTN.
------
Tidak lulus SPMB bukanlah akhir dunia karena lulus SPMB sekalipun bisa jadi adalah neraka. There is no perfect job.
Segelintir kisah dari beberapa sahabat. Beberapa sahabat penulis yang yang berhasil menembus Fakultas Kedokteran melalui SPMB masing-masing adalah juara umum sekaligus Pemenang I dan Pemenang II olimpiade Matematika tingkat Kota 2004, Finalis Lomba Biologi tingkat SMA se Sumatera Barat sekaligus pemenang I olimpiade Biologi tingkat Kota 2004 dan beberapa sahabat lain dengan prestasi setara The right person at the right place. Mereka yang lulus pada pilihan yang dianggap jurusan terfavorit sepanjang masa. Mereka lulus sesuai dengan prestasi minat, bakat kemampuan dan usaha mereka Namun tidak semulus jalan mereka menembus SPMB para pemenang olimpiade sekalipun tetap berkerut ketika menghadapi bahan ujian setebal 5 cm untuk 1 blok( 1blok = 6 minggu ).Belum lagi biaya keperluan kuliah mulai dari peralatan kedokteran sampai buku yang tak jarang bernilai jutaan rupiah.
Sahabat lain yang berhasil menembus SPMB adalah seorang sahabat yang tergolong ‘sedang’ semasa SMA. Tidak pernah terlalu menonjol dengan prestasi apapun walaupun juga tidak pernah mendapat nilai merah untuk raportnya. Ia berhasil mendapatkan sebuah kursi di Universitas terfavorit di Indonesia , Universitas Indonesia , dijurusan yang cukup favorit. Lain lagi dengan seorang sahabat yang lulus SPMB pada pilihan pertamanya di PT yang diinginkannya. Teknik Elektro Universitas Andalas. Namun kenyataan Colour Blind ( buta warna ) yang baru diketahuinya saat pendaftaran ulang membuat lulus SPMB menjadi tak berarti apa-apa untuknya. Usaha yang dilakukannya mati-matian adalah sia-sia baginya
Tidak lulus SPMB bukanlah akhir dunia. Tidak lulus SPMB tidak sama dengan bodoh. Tidak sedikit teman-teman yang berprestasi sangat cemerlang di SMU tidak berhasil menduduki kursi yang diinginkannya.
Namun sekali lagi tidak lulus SPMB bukanlah akhir segalanya.
Seorang sahabat lain yang tidak berhasil lulus SPMB untuk semua pilihannya padahal rata-rata nilai raport yang didapatkannya selalu berada diatas standard. Kecewa memang melihat teman-teman lain yang lulus, yang mungkin memiliki rata-rata nilai dibawahnya. Namun keputusannya menimba ilmu di salah satu Akademi Keperawatan, menghantarkannya menjadi mahasiswa dengan IP tertinggi diangkatannya dan menjadi symbol penerimaan kap pada saat pengambilan sumpah.
Tidak lulus SPMB juga menghantarkan beberapa sahabat lain menjadi akademisi diberbagai bidang seperti kepolisian. Berbagai Sekolah Tinggi berikatan dinas seperti Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN), Sekolah Tinggi Ilmu Statistik (STIS), Sekolah Tinggi Tansportasi Darat (STTD), Institut Pendidikan Dalam Negeri (IPDN) dll turut menghantarkan beberapa sahabat lain yang tidak lulus SPMB menuju cita-cita mereka dengan jalan yang lebih konkrit dan jelas.
Perguruan Tinggi Swasta (PTS) yang berkualitas dengan biaya yang tidak lagi mencekik juga telah banyak tersedia untuk melanjutkan cita-cita mereka yang terhambat oleh tidak lulusnya SPMB.
SPMB hanya salah satu jalan menuju kesuksesan dan cita-cita masa depan. Dimanapun kita berada sekarang, lulus atau tidak lulus SPMB, pada pilihan 1,2 atau ke 3, PTS, akademi,dll, percayalah ini yang terbaik yang diberikan Yang Maha Kuasa kepada kita. Tidak ada jurusan yang tidak bagus. Tergantung yang menjalaninya. Setelah usaha dan doa keras yang kita lakukan sebelumnya, inilah yang terbaik untuk kita. Sekalipun tidak sesuai dengan keinginan kita. Karena keinginan kita sekalipun belum tentu yang terbaik untuk kita.
Just do the best! Kini cukup lakukan yang terbaik yang bisa kita lakukan dengan yang ada pada kita sekarang. Tidak sedikit komentar puas setelah beberapa lama menjalaninya. Sedikit penyesuaian akan membuat kita kembali nyaman dengan pilhan ini. Semoga!

Jumat, 07 November 2008

Menjadi Remaja Profesional ?!


Perlukah profesionalitas menjadi seorang remaja?Yap! Tentu saja, karena apapun, siapapun orangnya, dimanapun berada butuh keahlian dan kelihaian. Begitu juga dengan remaja. Musti ahli dan lihai. Ahli dalam menempatkan diri dan lihai dalam melakukan sesuatu. Teutama dalam bergaul, berfikir, dan menjalin hubungan dengan orang lain atau pasangan. Ahli bergaul bukan berarti ikut dan mengikuti seluruh trend yang ada.
Lalu apakah mejadi remaja profesional yang dimaksud adalah tau semua trend remaja terbaru, seperti mode terbaru, musik dan grup band teranyar, pintar disekolah, punya pacar keren dan incaran banyak orang, tajir dan lain hal yang membuat remaja lainnya iri ? What a perfect life??
Bukan! Bukan itu yang diminta untuk menjadi remaja profesional. Cukup sederhana. Just do the right act at the right place on the right time.
Seorang remaja yang sebenarnya berprestasi bagus dibidang akademik, menjadi terganggu nilai atau IP nya karena bermasalah dengan " si dia" adalah bukan sikap remaja profesional. Pun, bermesraan, berpegangan tangan,berbisikan ditempat umum yang ramai seperti diatas angkutan umum juga bukan cerminan remaja yang profesional.
Kemana-kemana berdua sampai-sampai meninggalkan teman-teman yang ada sebelum bertemu "dia" juga tidak bisa disebut remaja yang profesional. Apalagi mengumbar semua yang terjadi antara kalian keorang-orang disekitar, lebih mementingkan "dia" ketimbang sahabat-sahabat atau keluarga, jangan sampai! Mungkin ini memang hal-hal kecil. Namun sangat krusial dalam menciptakan pandangan masyarakat terhadap remaja. Tak asing lagikan melihat para orang dewasa dan para orang tua yang memandang sebelah mata pada remaja sekarang?
Menjadi remaja profesional harus bisa membedakan kepentingan hati dan kepentingan diri. Profesional memisahkan urusan logika dan urusan perasaan. Jadi, walau ada masalah dengan "sidia" nilai akademik dan sosialisasi tidak boleh terganggu. Itu baru remaja yang profesional!
Inilah yang jarang ditemui dalam diri-diri remaja sekarang. Kebanyakan remaja cenderung mendahulukan kepentingan hati dan perasaan sehingga mengabaikan kepentingan diri dan logika yang sebenarnya, jauh lebih penting.
Salam salut untuk teman-teman remaja yang sanggup menjadi remaja yang profesional. Tidak meninggalkan teman-teman, keluarga , kepentingan akademik demi "dia" yang belum tentu jadi apa-apa!
so lets do the right act! Mari lihat waktu dan tempat. Pertimbangkan kepantasan. Dan remaja tidak lagi dipandang sebelah mata. Semoga!

Eksistensi Ambisi, antara Kemauan dan Emosi


Teringat ketika meminum secangkir kopi, satu sendok kopi dicampur dengan beberapa sendok gula, sesuai selera. Kemudian diseduh dengan air hangat, lalu di aduk dan siap diseruput.
Layaknya meminum secangkir kopi, ambisi adalah perpaduan antara gula dan kopi dalam cangkir yang diseduh dengan air hangat. Antara kemauan dan emosi. Kemauan ibarat gula dan emosi kopinya. Kemauan melakukan sesuatu untuk mencapai sesuatu. Kemauan untuk berhasil, kemauan untuk bersaing. Kemauan-kemauan yang ada dalam diri individu yang berada dalam masa peralihan antara anak-anak dan dewasa untuk menunjukkan eksistensinya, sebagai remaja. Belum optimalnya pemikiran remaja menimbulkan emosi yang kerap berbaur dengan kemauan. Inilah kopi untuk beberapa sendok gula. Nah, disinilah ambisi muncul sebagai eksistensi kemauan dan emosi dalam diri remaja.
Yang sering terjadi dan menimbulkan masalah adalah kalahnya kadar kemauan oleh emosi pada diri yang sedang dalam masa peralihan ini. Takaran gula yang dikalahkan oleh takaran kopi yang dalam cangkir, menimbulkan ambisi yang tidak terkendali.
Terkendalinya ambisi remaja tergantung pada niat remaja itu sendiri, dan tentu saja lingkungannya. Jika seseorang memang berniat untuk mencapai sesuatu, prestasi dikampus misalnya, maka ambisinya adalah bagaimana mencapai indeks prestasi yang sempurna. Segala hal dilakukan demi mencapai niat tersebut.Belajar optimal, mengerjakan semua tugas, dengan kata lain, study oriented.Remaja dengan ambisi ini tak jarang meninggalkan hal lain yang mungkin akan sangat berharga baginya. Tak jarang kemauan-kemauan lain tak terindahkan akibat inginnya ambisi tadi muncul kepermukaan. Hal-hal yang tidak terindahkan itu misalnya kepentingan sosial, persahabatan, kegiatan ekstra di kampus dan lain-lain. Disinilah terlihat takaran kopi yang berlebihan. Nah, disinipulalah gula sebagai eksistensi dari kemauan seharusnya berperan. Kemauan untuk tetap memiliki sahabat, kemauan untuk tetap besosialisasi, kemauan untuk tetap bergabung dengan berbagai kegiatan ekstra kampus. Namun tidak meninggalkan orientasi studi awalnya.
Sedangkan lingkungan, bagaimana lingkungan mempengaruhi ambisi seseorang?
Tentu saja dengan ambisi pula. Jika lingkungan disekitar adalah lingkungan dengan penuh ambisi, maka berambisi pulalah remaja itu, namun jika lingkungannya adem ayem tanpa persaingan ambisi yang ketat, maka tak bernafsu pula ia untuk memiliki ambisi.
Apapun faktor penyebabnya ambisi tetaplah ibarat kopi dalam cangkir. Tanpa ambisi, gula dan air hangat tidak cukup menggugah selera. Untuk menimbulkan selera dan aroma yang menggoda, takaran ambisi haruslah tepat. Pertimbangkan kemauan. Kemauan untuk menjaga ambisi agar tak terlalu mendominasi.
Hanya mereka yang bisa menakar gula dalam kopi dalam keadaan pas lah yang bisa menikmati kopi dengan nikmat. Ingat tak semua orang suka kopi pahit
Eksistensi Ambisi, antara Kemauan dan Emosi
Teringat ketika meminum secangkir kopi, satu sendok kopi dicampur dengan beberapa sendok gula, sesuai selera. Kemudian diseduh dengan air hangat, lalu di aduk dan siap diseruput.
Layaknya meminum secangkir kopi, ambisi adalah perpaduan antara gula dan kopi dalam cangkir yang diseduh dengan air hangat. Antara kemauan dan emosi. Kemauan ibarat gula dan emosi kopinya. Kemauan melakukan sesuatu untuk mencapai sesuatu. Kemauan untuk berhasil, kemauan untuk bersaing. Kemauan-kemauan yang ada dalam diri individu yang berada dalam masa peralihan antara anak-anak dan dewasa untuk menunjukkan eksistensinya, sebagai remaja. Belum optimalnya pemikiran remaja menimbulkan emosi yang kerap berbaur dengan kemauan. Inilah kopi untuk beberapa sendok gula. Nah, disinilah ambisi muncul sebagai eksistensi kemauan dan emosi dalam diri remaja.
Yang sering terjadi dan menimbulkan masalah adalah kalahnya kadar kemauan oleh emosi pada diri yang sedang dalam masa peralihan ini. Takaran gula yang dikalahkan oleh takaran kopi yang dalam cangkir, menimbulkan ambisi yang tidak terkendali.
Terkendalinya ambisi remaja tergantung pada niat remaja itu sendiri, dan tentu saja lingkungannya. Jika seseorang memang berniat untuk mencapai sesuatu, prestasi dikampus misalnya, maka ambisinya adalah bagaimana mencapai indeks prestasi yang sempurna. Segala hal dilakukan demi mencapai niat tersebut.Belajar optimal, mengerjakan semua tugas, dengan kata lain, study oriented.Remaja dengan ambisi ini tak jarang meninggalkan hal lain yang mungkin akan sangat berharga baginya. Tak jarang kemauan-kemauan lain tak terindahkan akibat inginnya ambisi tadi muncul kepermukaan. Hal-hal yang tidak terindahkan itu misalnya kepentingan sosial, persahabatan, kegiatan ekstra di kampus dan lain-lain. Disinilah terlihat takaran kopi yang berlebihan. Nah, disinipulalah gula sebagai eksistensi dari kemauan seharusnya berperan. Kemauan untuk tetap memiliki sahabat, kemauan untuk tetap besosialisasi, kemauan untuk tetap bergabung dengan berbagai kegiatan ekstra kampus. Namun tidak meninggalkan orientasi studi awalnya.
Sedangkan lingkungan, bagaimana lingkungan mempengaruhi ambisi seseorang?
Tentu saja dengan ambisi pula. Jika lingkungan disekitar adalah lingkungan dengan penuh ambisi, maka berambisi pulalah remaja itu, namun jika lingkungannya adem ayem tanpa persaingan ambisi yang ketat, maka tak bernafsu pula ia untuk memiliki ambisi.
Apapun faktor penyebabnya ambisi tetaplah ibarat kopi dalam cangkir. Tanpa ambisi, gula dan air hangat tidak cukup menggugah selera. Untuk menimbulkan selera dan aroma yang menggoda, takaran ambisi haruslah tepat. Pertimbangkan kemauan. Kemauan untuk menjaga ambisi agar tak terlalu mendominasi.
Hanya mereka yang bisa menakar gula dalam kopi dalam keadaan pas lah yang bisa menikmati kopi dengan nikmat. Ingat tak semua orang suka kopi pahit.

Kampus

Tulisan sebagai Ruang Komunikasi

Sayyid Madani Syani dalam tulisannya “Melihat Indonesia dengan Hati” (Singgalang 23/3 ) memaparkan bahwa sastrawan atau penulis ‘menggarap’ untuk beberapa tujuan, diantaranya sebagai semangat murni perjuangan kaum miskin, menambah financial pribadi, bersabar dengan konsep kebenaran, bersandar dengan konsep tertentu, atau malah tidak berdasarkan apapun. Tak ada salahnya jika menambahnya dengan satu daftar lagi yaitu membentuk sebuah ruang komunikasi dengan penulis lain baik sebagai kritik atau sekedar apresiasi.

Misalnya dalam tulisan Esha Tegar Putra dalam “Adakah standar untuk Apresiasi sastra”, Esha mengkritik sekaligus mengapresiasi tulisan Fadli Akbar dalam “Teori sastra; Perkakas Analisis dan standar apresiasi” (Singgalang 9/3). Terlihat apresiasi Esha dalam persetujuannya akan kedangakalan apresiasi sastra karena ketidakpeduliannya penggiat sastra akan teori sastra. Lalu pandangan berbeda Esha untuk opini Fadli bahwa dalam masalah standar apresiasi sastra. Adakah? Menurutnya tak bisa ditentukan standar kulaitas dari sebuah penulis baik itu kritik maupun apresiasi sastra.

Terlepas dari itu semua, satu hal menarik yang tampak. Bahwa Esha dan Fadli telah menumbuhkan ruang komunikasi dua pemikiran mahasiswa tentang sastra. Jika melihat latar belakang pendidikan yang tengah mereka jalani mungkin fakta ini akan sangat menarik lagi. Disini, terlihat opini dua arah. Walau terkesan hanya apresiasi sederhana tapi bisa saja banyak pemaknaan lain dari terciptanya ruang komunikasi dari tulisan-tulisan ini.

Dunia mahasiswa kini yang ibarat menara gading di gedung sendiri, telah memangkas waktu dan kesempatan diskusi baik secara langsung maupun tidak. Jarang sekali dijumpai segerombolan mahasiswa yang masih mempunyai waktu untuk duduk bersama dan berdiskusi. Mengenai apa saja. Cyber culture agaknya menjadi salah satu penyebab fenomena ini.

Pembentukan ruang komunikasi seperti yang dilakukan Fadli dan Esha akan sah jika, pertama, para penulis mau saling membuka pikiran (open mind). Seorang penulis tentu saja menulis apa yang dianggapnya benar.Dan menganggap apa yang ditulisnya adalah benar.Apalagi ketika sebuah tulisan dimuat. Kasus seperti Esha-Fadli menumbuhkan pemikiran lain. Fadli, dalam hal ini mungkin memang akan berpikir mengenai adanya standar untuk apresiasi sastra seperti yang selama ini dipikirkannya. Bisa jadi nantinya ia menerima pemikiran tersebut, atau menolaknya dengan memberikan analogi-analogi lain yang mungkin malah akan membuat Esha membuka lagi pikirannya, atau sebaliknya.

Kedua, adanya kepedulian terhadap apresiasi sebuah tulisan. Kepedulian bahwa sebuah tulisan, setelah dipublikasi karya tersebut tak hanya sampai disana. Tak hanya sampai pada sebuah senyuman jika apresiasi tersebut dapat diterima atau sebuah kerutan kening karena tidak terima. Tidak kepedulian lebih lanjut yang terlihat.

Ketiga, kritik membangun yang sportif, terbuka, beralasan, logis dan toleran. Terakhir pembentukan komunitas itu sendiri. Sebuah wadah “perang pemikiran melalui tulisan” yang nantinya dapat diteruskan menjadi sebuah wadah diskusi sebenarnya mengenai apa yang dibicarakan. Ssetelahnya, dapat dibayangkan generasi berikut yang lebih terbuka kecerdasannya karena telah ‘diadu’ dengan kecerdasan lainnya.

Ingat cerita “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”? Semuanya berawal dari tulisan. Sebuah pemikiran yang disatukan melalui pemikiran. Dan hasilnya??

Catatan Budaya

LIPS SERVICE

Memisahkan kepentingan hati dan kepentingan pikiran atau logika memang bukan suatu yang mudah. Terkadang hati kerap menjadi sebuah halangan untuk menyelesaikan kepentingan pikiran atau logika. Begitu juga sebaliknya. Misalnya dalam membuat sebuah janji atau kesepekatan. Terkadang dalam pikiran, logika telah memetakan bahwa besar kemungkinan kita untuk tidak mengikuti atau menepati sebuah janji atau kesepakatan. Menurut logika lebihdari 50% kemungkinan kita untuk tidak menepati janji atau kesepakatan tersebut. Bisa jadi memang karena ada hal-hal lain yang tidak memungkinkan kita untuk menepati atau memang niat untuk menepati tidak ada. Namun bibir (lips) kita sering lebih memilih untuk memberikan service berupa pelayanan untuk memberikan harapan atas apa yang dijanjikan. Biasanya, media nya adalah bahasa-bahasa seperti akan, usahakan, coba, pertimbangkan dan yang paling laku adalah kata “Insyaallah”.

Di satu sisi lips service menunjukkan budaya toleransi yang telah mengakar dilingkungan kita. Kekuatan untuk tidak mengecewakan dan menyakiti perasaan orang lain. Setidaknya orang yang diberi harapan untuk ditepati janji atau kesepakatannya itu mempunyai sedikit harapan dan punya sedikit waktu untuk membayangkan bahwa janji itu akan terealisasi. Namun pembatalan janji yang terjadi tak jauh setelah janji itu disepakati dan biasanya tidak dilakukan langsung, melalui media telepon, pesan singkat atau memo membuyarkan semua harapan untuk terealisasinya janji dan kesepakatan yang telah dibuat. Sekilas tampak niat si pelaku lips service untuk menyenangkan hati lawan pembuat janjinya dan menjadikan keadaan lainnya sebagai kambing hitam sehingga janji harus dibatalkan. Berbagai alasan mendesak dan terkesan lebih prioritas dikemukakan untuk meyakinkan bahwa bukan niat si pelaku lips service untuk tidak menepati kesepakatan yang telah dibuat. Namun alasan, selogika dan rasional apapun tetaplah sebuah alasan. Janji tetap saja dibatalkan, dengan sengaja.

Immanuel Kant, seorang filsuf yang hidup pada masa pencerahan Jerman (1724-1804) mengkondisikan hal-hal seperti ini dalam sebuah teori Imperatif Kategoris nya yang menghubungkan asas moralitas ( asas rasio praktis) dengan asas kehendak (maksim). Menurutnya asas moralitas seharusnya sesuai dengan kehendak ( maksim). Tenggang rasa, toleransi dan alasan penjagaan perasaan lainnya hanya dibenarkan jika sesuai dengan maksim, tujuan yang ingin dicapai yaitu terpenuhinya janji atau tidak. Lebih lanjut menurut Kant, dalam kenyataan seringkali ada kesenjangan atau ketidaksesuaian antara maksim dan asas, antara kehendak subjektif dan asas-asas moral objektif. Imperatif Kategoris memerintahkan sesuatu bukan untuk mencapai tujuan tertentu melainkan karena perintah itu baik pada diri individu. Kant menemukan bunyi KI tersebut “ bertindak seolah-olah maksim tindakan anda melalui keinginan anda sendiri dapat menjadi sebuah hukum alam yang universal” dimana penjagaan perasaan seolah menjadi hukum alam yang dapat dibenarkan oleh pelaku lips service.

Untuk itu dalam membicarakan imperatif kategoris ini perlulah ditinjau ulang tujuan yang mendasari imperatif kategoris. Apakah tujuan lips service mutlak, universal, da tidak dumuati hasrat-hasrat subjektif. Menurut Kant tujuan ini adalah manusia, makhluk rasional. Manusia bukanlah sarana melainkan tujuan. Jika memisahkan kepentingan hati dan kepentingan pikiran masih terasa sanagt berat ingatlah pesan Kant berikut :

“ Bertindaklah sedemikian rupa sehingga anda selalu memperlakukan umat manusia entah didalam pribadi anda maupun di dalam pribadi setiap orang lain sekaligus sebagai tujuan, bukan sebagai sarana belaka”

Aquilla

WP, FS, dan BLT

Meidella Syahni

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris UNP

Kenyataan hari ini adalah apa yang diputuskan di masa lalu. Masa depan adalah apa yang diputuskan hari ini.

Kenaikan harga minyak dunia adalah keputusan dunia beberapa waktu lalu. Kenyataan hari ini adalah naiknya harga minyak dalam negeri diikuti meroketnya harga-harga kebutuhan pokok. Keputusan hari ini adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai salah satu bentuk subsidi kenaikan harga minyak. Bagaimana masa depan Indonesia dengan keputusan hari ini?

Dimasa lalu, Australia pernah punya kebijakan semacam BLT. Mereka menyebutnya Welfare Program (WP). Kebijakan masyarakat imigran untuk memberi subsidi bulanan kepada setiap warga suku Aborigin di negara tersebut. Suku Aborigin yang dulunya terbiasa berusaha sendiri, hidup mengandalkan alam, saling membantu, lambat laun mengalami degradasi. Subsidi WP membentuk mental ceret pada suku Aborigin untuk hanya menerima subsidi. Para kepala keluarga suku Aborigin kehilangan tempat, tak lagi memiliki peran dan wibawa di mata keluarganya. Faktanya saat ini lebih parah lagi, suku Aborigin yang dulunya mampu bertahan hidup hingga 70-80 tahun, kini hanya mampu bertahan hingga 30-40 tahun.

BLT memang tak sepenuhnya sama dengan WP. Pembedanya adalah bahwa masyarakat Indonesia yang diberi subsidi bukanlah suku pedalaman yang masih ”jernih” pemikirannya. Imigran Australia yang kemudian ”memiliki tempat” di sana merasa perlu memberi subsidi kepada suku Aborigin karena suku ini dianggap terlalu murni, tak memiliki keahlian apapun dan selalu mengandalkan alam. Tapi kenyataannya suku ini malah terancam punah.

Tak hanya Australia, AS dalam masa pemerintahan Bush juga pernah mengangkatkan program semacam BLT. Mereka menyebutnya Foods Stamps (penjatahan makanan). Bedanya subsidi makanan ini dijatahkan pada mereka korban perang nuklir. Subsidi makanan secara langsung diberikan kepada para korban perang dengan sistem bulanan, secara cuma-cuma.

Tidak persis dengan BLT tetapi beberapa progam ini dapat dianalogikan. Subsidi yang diberikan pemerintah kepada masyarakatnya secara cuma-cuma. Di dua negara lain ternyata hasil yang didapat bukanlah hasil yang seharusnya diperoleh dari sebuah kebijakan. Suku Aborigin yang dulunya tegap perkasa kini kehilangan wibawa di mata keluarga mereka sendiri bahkan nyaris punah. Para korban perang nuklir, entah mengapa dari bulan ke bulan semakin bertambah kuotanya. Tiba-tiba banyak yang mengaku sebagai korban perang.

Mungkinkah masyarakat Indonesia mengalami nasib yang sama dengan suku Aborigin dan korban perang nuklir? Agaknya, kita bisa berkaca dari apa yang dikatakan Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia (sebuah pertanggungjawaban). Mochtar mengatakan bahwa masyarakat Indonesia adalah munafik atau hiporkrit, enggan dan segan bertanggung jawab, bersikap dan berprilaku feodal, percaya tahayul, artistik (berbakat seni), dan lemah watak atau karakternya.

Jika kita menggunakan penelitian Mochtar, pemerintah baru saja menguatkan sebuah pembuktian bahwa masyarakat Indonesia memiliki karakter yang lemah. Akan banyak yang mengaku miskin, semakin bertambah masyarakat yang malas bekerja, dan BLT baru saja membunuh karakter masyarakat.

Keputusan yang dikeluarkan pemerintah sangat menentukan masa depan bangsa. Alangkah ironi, jika pertimbangannya tak mengacu kepada pembentukan karakter.

( Media Indonesia/Rostrum)

Minggu, 26 Oktober 2008

greek literature

Greek literature

Literature of Greece, ancient and modern.

Ancient

The Archaic period of ancient Greek literature (8th century-c. 480 BC) begins with Homer, reputed author of the epic narrative poems the Iliad and Odyssey, but there is evidence that parts of the Homeric epics embody an oral literary tradition going much further back into the past. Other heroic legends were handled a little later by the so-called cyclic poets, for example, Arctinus, but these are lost. Towards the end of the 8th century other literary forms began to appear: the didactic, instructional poetry of Hesiod, whose Works and Days deals with morals as they pertain to agricultural life, and the various kinds of lyric which flourished for two centuries, particularly in Ionia and the Aegean islands. Besides choral lyrics (Alcman, Stesichorus), there were elegiac (reflective and mournful) and iambic (pairs of syllables, unstressed followed by stressed) works (Archilochus, Mimnermus, Semonides of Amorgos, Solon, Theognis, Tyrtaeus); epigrams (Simonides of Ceos); table-songs (Terpander); and political lyrics (Alcaeus). This kind of poetry served also as a vehicle of moral ideas for Solon, Theognis, and Tyrtaeus, of invective for Archilochus, of ardent passion for Sappho, or of the merely elegant and affected as in Anacreon. At the very end of the Archaic period stands the first Greek historian, Hecataeus of Miletus, who wrote in prose.

During the classical period (c. 480-323 BC) lyric poetry reached its perfection with Pindar and Bacchylides. New literary genres appeared, especially in Athens, which for 150 years after the Persian Wars was the intellectual and artistic capital of the Greek world. Drama reached unsurpassed heights: tragedy with Aeschylus, Sophocles, and Euripides, and comedy with Eupolis, Cratinus, and Aristophanes. In the second half of the 5th and most of the 4th centuries BC prose flowered in several forms, including history, philosophy, and speeches (Herodotus, Thucydides, Xenophon, Plato, Aristotle, Isocrates, and Demosthenes).

During the Hellenistic period (323-27 BC), after the death of Alexander the Great, Athens lost its superiority, but its philosophical schools continued to flourish with such teachers as Epicurus, Zeno of Citium, and Theophrastus, as also did comedy (Menander). The principal centres of Greek culture now were Antioch, Pergamum, Pella and, above all, the Ptolemaic court at Alexandria with its library which attracted poets and scientists alike. Alexandrian poetry revived some forms that had fallen into disuse: epic (Apollonius of Rhodes), didactic (Aratus), epigram and hymn (Callimachus). Herodas reintroduced mime, which had been first given literary form in the 5th century by Sophron. In this period also bucolic (pastoral) poetry begins with Theocritus. It was, moreover, an age of learning, notably in the field of philology (development of languages) and textual criticism, exemplified in the work of Aristophanes of Byzantium and Callimachus, and in that of mathematics and geography (Eratosthenes, Euclid). Most of the great names of the Hellenistic period belong to the 3rd century. From 150 BC the influence of Rome became progressively stronger, and the Greek narrative of its ascendancy is that of Polybius. The 1st century BC also saw the first Greek anthology of epigrams, compiled by Meleager, and the work of the Jewish writers Philo Judaeus and Josephus, and the New Testament writers.

In the Roman period (c. 27 BC-c. AD 330) the city of Rome became the capital of the civilized world, and Latin the literary language par excellence. However, Greek continued to be spoken throughout the Mediterranean basin, and the following writers were outstanding: Flavius Arrianus, Dion Cassius, and Dionysius of Halicarnassus on history; Epictetus, Plutarch, and Marcus Aurelius on ethics and related subjects; Strabo and Pausanias on geography; Ptolemy on astronomy; Galen on medicine; Dionysius of Halicarnassus, Apollonius Dyscolus, Demetrius (author of On Style), and Longinus on grammar and literary criticism; Plotinus on neo-Platonism; and the theologians Clement and Origen on Christianity. The Roman period was also an age of compilers (Aelianus, Athenaeus, Diodorus Siculus). Rhetoric was represented by Aelius Aristides and moral satire by Lucian, while the novel appeared with Heliodorus (Theagenes and Charicleia).

For the Byzantine period (AD 330-1453) see Byzantine literature.

Modern

After the fall of Constantinople, the Byzantine tradition was perpetuated in the classical Greek writing of, for example, the 15th-century chronicles of Cyprus, various historical works in the 16th and 17th centuries, and educational and theological works in the 18th century. The 17th and 18th centuries saw much controversy over whether to write in the Greek vernacular (dialect commonly spoken, known as Demotic), the classical language (Katharevousa), or the language of the Eastern Orthodox Church. Adamantios Korais (1748-1833), the first great modern writer, produced a compromise language; he was followed by the prose and drama writer and poet Aleksandros Rhangavis (Ć¢€˜RangabeĆ¢€™) (1810-1892), and many others.

The 10th-century epic of Digenis Akritas is usually considered to mark the beginnings of modern Greek vernacular literature, and the Demotic was kept alive in the flourishing Cretan literature of the 16th and 17th centuries, in numerous popular songs, and in the Klephtic ballads of the 18th century. With independence in the 19th century the popular movement became prominent with the Ionian poet Dionysios Solomos (1798-1857), Andreas Kalvos (1796-1869), and others, and later with Iannis Psichari (1854-1929), short-story writer and dramatist, and the prose writer Alexandros Papadiamandis (1851-1911), who influenced many younger writers, for example Konstantinos Hatzopoulos (1868-1921), poet and essayist. After the 1920s, the novel began to emerge with Stratis Myrivilis (1892-1969) and Nikos Kazantzakis (1885-1957), author of Zorba the Greek (1946) and also a poet. There were also the Nobel-prize-winning poets George Seferis and Odysseus Elytis.