Menulislah Untuk Keabadian (Pram)

esse es percipi

Foto saya
Padang, Sumatera Barat, Indonesia
not a girl,not a woman yet....

Jumat, 07 November 2008

Aquilla

WP, FS, dan BLT

Meidella Syahni

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Inggris UNP

Kenyataan hari ini adalah apa yang diputuskan di masa lalu. Masa depan adalah apa yang diputuskan hari ini.

Kenaikan harga minyak dunia adalah keputusan dunia beberapa waktu lalu. Kenyataan hari ini adalah naiknya harga minyak dalam negeri diikuti meroketnya harga-harga kebutuhan pokok. Keputusan hari ini adalah Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai salah satu bentuk subsidi kenaikan harga minyak. Bagaimana masa depan Indonesia dengan keputusan hari ini?

Dimasa lalu, Australia pernah punya kebijakan semacam BLT. Mereka menyebutnya Welfare Program (WP). Kebijakan masyarakat imigran untuk memberi subsidi bulanan kepada setiap warga suku Aborigin di negara tersebut. Suku Aborigin yang dulunya terbiasa berusaha sendiri, hidup mengandalkan alam, saling membantu, lambat laun mengalami degradasi. Subsidi WP membentuk mental ceret pada suku Aborigin untuk hanya menerima subsidi. Para kepala keluarga suku Aborigin kehilangan tempat, tak lagi memiliki peran dan wibawa di mata keluarganya. Faktanya saat ini lebih parah lagi, suku Aborigin yang dulunya mampu bertahan hidup hingga 70-80 tahun, kini hanya mampu bertahan hingga 30-40 tahun.

BLT memang tak sepenuhnya sama dengan WP. Pembedanya adalah bahwa masyarakat Indonesia yang diberi subsidi bukanlah suku pedalaman yang masih ”jernih” pemikirannya. Imigran Australia yang kemudian ”memiliki tempat” di sana merasa perlu memberi subsidi kepada suku Aborigin karena suku ini dianggap terlalu murni, tak memiliki keahlian apapun dan selalu mengandalkan alam. Tapi kenyataannya suku ini malah terancam punah.

Tak hanya Australia, AS dalam masa pemerintahan Bush juga pernah mengangkatkan program semacam BLT. Mereka menyebutnya Foods Stamps (penjatahan makanan). Bedanya subsidi makanan ini dijatahkan pada mereka korban perang nuklir. Subsidi makanan secara langsung diberikan kepada para korban perang dengan sistem bulanan, secara cuma-cuma.

Tidak persis dengan BLT tetapi beberapa progam ini dapat dianalogikan. Subsidi yang diberikan pemerintah kepada masyarakatnya secara cuma-cuma. Di dua negara lain ternyata hasil yang didapat bukanlah hasil yang seharusnya diperoleh dari sebuah kebijakan. Suku Aborigin yang dulunya tegap perkasa kini kehilangan wibawa di mata keluarga mereka sendiri bahkan nyaris punah. Para korban perang nuklir, entah mengapa dari bulan ke bulan semakin bertambah kuotanya. Tiba-tiba banyak yang mengaku sebagai korban perang.

Mungkinkah masyarakat Indonesia mengalami nasib yang sama dengan suku Aborigin dan korban perang nuklir? Agaknya, kita bisa berkaca dari apa yang dikatakan Mochtar Lubis dalam Manusia Indonesia (sebuah pertanggungjawaban). Mochtar mengatakan bahwa masyarakat Indonesia adalah munafik atau hiporkrit, enggan dan segan bertanggung jawab, bersikap dan berprilaku feodal, percaya tahayul, artistik (berbakat seni), dan lemah watak atau karakternya.

Jika kita menggunakan penelitian Mochtar, pemerintah baru saja menguatkan sebuah pembuktian bahwa masyarakat Indonesia memiliki karakter yang lemah. Akan banyak yang mengaku miskin, semakin bertambah masyarakat yang malas bekerja, dan BLT baru saja membunuh karakter masyarakat.

Keputusan yang dikeluarkan pemerintah sangat menentukan masa depan bangsa. Alangkah ironi, jika pertimbangannya tak mengacu kepada pembentukan karakter.

( Media Indonesia/Rostrum)

Tidak ada komentar: