Menulislah Untuk Keabadian (Pram)

esse es percipi

Foto saya
Padang, Sumatera Barat, Indonesia
not a girl,not a woman yet....

Jumat, 07 November 2008

Catatan Budaya

LIPS SERVICE

Memisahkan kepentingan hati dan kepentingan pikiran atau logika memang bukan suatu yang mudah. Terkadang hati kerap menjadi sebuah halangan untuk menyelesaikan kepentingan pikiran atau logika. Begitu juga sebaliknya. Misalnya dalam membuat sebuah janji atau kesepekatan. Terkadang dalam pikiran, logika telah memetakan bahwa besar kemungkinan kita untuk tidak mengikuti atau menepati sebuah janji atau kesepakatan. Menurut logika lebihdari 50% kemungkinan kita untuk tidak menepati janji atau kesepakatan tersebut. Bisa jadi memang karena ada hal-hal lain yang tidak memungkinkan kita untuk menepati atau memang niat untuk menepati tidak ada. Namun bibir (lips) kita sering lebih memilih untuk memberikan service berupa pelayanan untuk memberikan harapan atas apa yang dijanjikan. Biasanya, media nya adalah bahasa-bahasa seperti akan, usahakan, coba, pertimbangkan dan yang paling laku adalah kata “Insyaallah”.

Di satu sisi lips service menunjukkan budaya toleransi yang telah mengakar dilingkungan kita. Kekuatan untuk tidak mengecewakan dan menyakiti perasaan orang lain. Setidaknya orang yang diberi harapan untuk ditepati janji atau kesepakatannya itu mempunyai sedikit harapan dan punya sedikit waktu untuk membayangkan bahwa janji itu akan terealisasi. Namun pembatalan janji yang terjadi tak jauh setelah janji itu disepakati dan biasanya tidak dilakukan langsung, melalui media telepon, pesan singkat atau memo membuyarkan semua harapan untuk terealisasinya janji dan kesepakatan yang telah dibuat. Sekilas tampak niat si pelaku lips service untuk menyenangkan hati lawan pembuat janjinya dan menjadikan keadaan lainnya sebagai kambing hitam sehingga janji harus dibatalkan. Berbagai alasan mendesak dan terkesan lebih prioritas dikemukakan untuk meyakinkan bahwa bukan niat si pelaku lips service untuk tidak menepati kesepakatan yang telah dibuat. Namun alasan, selogika dan rasional apapun tetaplah sebuah alasan. Janji tetap saja dibatalkan, dengan sengaja.

Immanuel Kant, seorang filsuf yang hidup pada masa pencerahan Jerman (1724-1804) mengkondisikan hal-hal seperti ini dalam sebuah teori Imperatif Kategoris nya yang menghubungkan asas moralitas ( asas rasio praktis) dengan asas kehendak (maksim). Menurutnya asas moralitas seharusnya sesuai dengan kehendak ( maksim). Tenggang rasa, toleransi dan alasan penjagaan perasaan lainnya hanya dibenarkan jika sesuai dengan maksim, tujuan yang ingin dicapai yaitu terpenuhinya janji atau tidak. Lebih lanjut menurut Kant, dalam kenyataan seringkali ada kesenjangan atau ketidaksesuaian antara maksim dan asas, antara kehendak subjektif dan asas-asas moral objektif. Imperatif Kategoris memerintahkan sesuatu bukan untuk mencapai tujuan tertentu melainkan karena perintah itu baik pada diri individu. Kant menemukan bunyi KI tersebut “ bertindak seolah-olah maksim tindakan anda melalui keinginan anda sendiri dapat menjadi sebuah hukum alam yang universal” dimana penjagaan perasaan seolah menjadi hukum alam yang dapat dibenarkan oleh pelaku lips service.

Untuk itu dalam membicarakan imperatif kategoris ini perlulah ditinjau ulang tujuan yang mendasari imperatif kategoris. Apakah tujuan lips service mutlak, universal, da tidak dumuati hasrat-hasrat subjektif. Menurut Kant tujuan ini adalah manusia, makhluk rasional. Manusia bukanlah sarana melainkan tujuan. Jika memisahkan kepentingan hati dan kepentingan pikiran masih terasa sanagt berat ingatlah pesan Kant berikut :

“ Bertindaklah sedemikian rupa sehingga anda selalu memperlakukan umat manusia entah didalam pribadi anda maupun di dalam pribadi setiap orang lain sekaligus sebagai tujuan, bukan sebagai sarana belaka”

Tidak ada komentar: