Menulislah Untuk Keabadian (Pram)

esse es percipi

Foto saya
Padang, Sumatera Barat, Indonesia
not a girl,not a woman yet....

Jumat, 07 November 2008

Kampus

Tulisan sebagai Ruang Komunikasi

Sayyid Madani Syani dalam tulisannya “Melihat Indonesia dengan Hati” (Singgalang 23/3 ) memaparkan bahwa sastrawan atau penulis ‘menggarap’ untuk beberapa tujuan, diantaranya sebagai semangat murni perjuangan kaum miskin, menambah financial pribadi, bersabar dengan konsep kebenaran, bersandar dengan konsep tertentu, atau malah tidak berdasarkan apapun. Tak ada salahnya jika menambahnya dengan satu daftar lagi yaitu membentuk sebuah ruang komunikasi dengan penulis lain baik sebagai kritik atau sekedar apresiasi.

Misalnya dalam tulisan Esha Tegar Putra dalam “Adakah standar untuk Apresiasi sastra”, Esha mengkritik sekaligus mengapresiasi tulisan Fadli Akbar dalam “Teori sastra; Perkakas Analisis dan standar apresiasi” (Singgalang 9/3). Terlihat apresiasi Esha dalam persetujuannya akan kedangakalan apresiasi sastra karena ketidakpeduliannya penggiat sastra akan teori sastra. Lalu pandangan berbeda Esha untuk opini Fadli bahwa dalam masalah standar apresiasi sastra. Adakah? Menurutnya tak bisa ditentukan standar kulaitas dari sebuah penulis baik itu kritik maupun apresiasi sastra.

Terlepas dari itu semua, satu hal menarik yang tampak. Bahwa Esha dan Fadli telah menumbuhkan ruang komunikasi dua pemikiran mahasiswa tentang sastra. Jika melihat latar belakang pendidikan yang tengah mereka jalani mungkin fakta ini akan sangat menarik lagi. Disini, terlihat opini dua arah. Walau terkesan hanya apresiasi sederhana tapi bisa saja banyak pemaknaan lain dari terciptanya ruang komunikasi dari tulisan-tulisan ini.

Dunia mahasiswa kini yang ibarat menara gading di gedung sendiri, telah memangkas waktu dan kesempatan diskusi baik secara langsung maupun tidak. Jarang sekali dijumpai segerombolan mahasiswa yang masih mempunyai waktu untuk duduk bersama dan berdiskusi. Mengenai apa saja. Cyber culture agaknya menjadi salah satu penyebab fenomena ini.

Pembentukan ruang komunikasi seperti yang dilakukan Fadli dan Esha akan sah jika, pertama, para penulis mau saling membuka pikiran (open mind). Seorang penulis tentu saja menulis apa yang dianggapnya benar.Dan menganggap apa yang ditulisnya adalah benar.Apalagi ketika sebuah tulisan dimuat. Kasus seperti Esha-Fadli menumbuhkan pemikiran lain. Fadli, dalam hal ini mungkin memang akan berpikir mengenai adanya standar untuk apresiasi sastra seperti yang selama ini dipikirkannya. Bisa jadi nantinya ia menerima pemikiran tersebut, atau menolaknya dengan memberikan analogi-analogi lain yang mungkin malah akan membuat Esha membuka lagi pikirannya, atau sebaliknya.

Kedua, adanya kepedulian terhadap apresiasi sebuah tulisan. Kepedulian bahwa sebuah tulisan, setelah dipublikasi karya tersebut tak hanya sampai disana. Tak hanya sampai pada sebuah senyuman jika apresiasi tersebut dapat diterima atau sebuah kerutan kening karena tidak terima. Tidak kepedulian lebih lanjut yang terlihat.

Ketiga, kritik membangun yang sportif, terbuka, beralasan, logis dan toleran. Terakhir pembentukan komunitas itu sendiri. Sebuah wadah “perang pemikiran melalui tulisan” yang nantinya dapat diteruskan menjadi sebuah wadah diskusi sebenarnya mengenai apa yang dibicarakan. Ssetelahnya, dapat dibayangkan generasi berikut yang lebih terbuka kecerdasannya karena telah ‘diadu’ dengan kecerdasan lainnya.

Ingat cerita “Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck”? Semuanya berawal dari tulisan. Sebuah pemikiran yang disatukan melalui pemikiran. Dan hasilnya??

Tidak ada komentar: